MEDIACAHAYU —Seperti mata air yang tak henti mengalirkan ide-ide segar, Ganesha Business Management Festival (GBMF) 2025 kembali hadir membawa semangat yang lebih dari sekadar seminar dan pameran.
Ia menjelma menjadi ruang, menjadi panggung, menjadi perayaan akal dan kolaborasi. Di bawah langit kelabu awal Juni, Summarecon Mall Bandung tak sekadar menjajakan barang dagangan, tetapi menampung detak-detak perubahan dari ratusan insan muda yang ingin bicara soal ekonomi secara adil dan setara.
Rangkaian kegiatan ini bukan sekadar kompetisi. Ia adalah ajang pernyataan. Lebih dari 130 karya mahasiswa, dari tahun pertama hingga senior, tampil bukan hanya untuk dilihat, tapi dirasa. Dari rekayasa awal hingga purwarupa bisnis, dari mimpi kecil di meja kelas hingga ide yang siap ditawarkan kepada investor, semua berkumpul dalam satu kata kunci yakni keterbukaan.
Dan ketika Jovial da Lopez berbicara tentang perubahan ekonomi lintas generasi, atau Helmy Yahya menuturkan pentingnya membangun ekonomi lokal, suara mereka tidak hanya ditangkap telinga, tetapi ditanam dalam benak sebagai pelita. Mereka bukan sekadar pembicara, tapi penjaga bara api semangat.
Idea Spark, nama yang tepat untuk sebuah sesi pitching adalah lantai dansa bagi sepuluh tim terpilih. Di sana, ide-ide berusaha meyakinkan para investor bahwa mereka layak tumbuh. Bahwa ekonomi bukan hanya angka, tapi juga keberanian bermimpi.
Di sela-sela itu, ITB Jazz membuai ruang, workshop dan permainan membangun jembatan antara serius dan santai. Semua dirancang agar orang datang bukan hanya untuk melihat, tapi mengalami.
“GBMF bukan milik segelintir,” ujar Darryl, sang Project Officer. “Ini milik siapa saja yang percaya pada masa depan yang setara.” Dalam ucapannya, terkandung tekad. Dalam langkahnya, ada kesetiaan pada gagasan besar inklusivitas.
Dan mungkin, seperti itulah cara perubahan bekerja secara senyap, tapi pasti, dari sebuah festival di ujung kota Bandung.***