MEDIACAHAYU – Sabtu pagi (23/8/2025), Aula Barat Institut Teknologi Bandung (ITB) tampak ramai. Rektor, dosen, mahasiswa, hingga alumni berkumpul dalam suasana penuh semangat.
Mereka melepas keberangkatan Tim Ekspedisi Patriot, sebuah program yang diharapkan bisa memberi warna baru pada wajah transmigrasi Indonesia.
Program Transmigrasi Patriot digagas Kementerian Transmigrasi dengan misi lebih dari sekadar pemerataan penduduk. Ia diharapkan mampu memperkuat integrasi ekonomi di kawasan transmigrasi, membangun jejaring, sekaligus melahirkan model pembangunan yang lebih inklusif.
Koordinator tim, Prof. Sri Maryati, menjelaskan bahwa tahun ini ITB mengirimkan tim dengan tujuh tema besar, tersebar di 29 lokasi dari Sumatera hingga Papua.
“Setiap tim dipimpin seorang dosen dan beranggotakan mahasiswa, alumni, serta mitra universitas. Kami ingin menghadirkan pendekatan akademik yang membumi,” ujarnya dikutip Senin (25/8/2025)
Bagi Rektor ITB, Prof. Tatacipta Dirgantara, Ekspedisi Patriot adalah pengalaman yang mengubah cara pandang. “Program ini bukan sekadar perjalanan. Ia menjadi kesempatan untuk mengenal potensi Indonesia secara langsung, memahami tantangan di lapangan, dan membangun solusi yang berdampak nyata bagi masyarakat transmigrasi,” katanya.
Selama empat bulan, tim akan mengembangkan rancangan kebijakan infrastruktur, kelembagaan ekonomi, strategi pencegahan konflik, inovasi teknologi tepat guna, hingga kajian potensi pelabuhan dan komoditas unggulan daerah. Pendekatan ini menekankan kolaborasi perguruan tinggi, dunia usaha, dan pemerintah dalam membangun kawasan transmigrasi yang dikelola profesional.
Namun, di balik optimisme, tantangan nyata menanti. Transmigrasi bukan isu baru bagi Indonesia. Sejarah panjangnya menyimpan keberhasilan sekaligus luka: dari desa-desa baru yang berkembang menjadi pusat ekonomi, hingga konflik lahan dan gesekan sosial yang tak jarang muncul.
Kini, dengan format baru berbasis ekonomi terpadu, Ekspedisi Patriot mencoba memberi jawaban. Apakah ia mampu menjembatani kepentingan warga lokal dan transmigran? Apakah model kolaborasi akademisi, pemerintah, dan masyarakat ini benar-benar akan menciptakan perubahan?
Ekspedisi ini akan berlangsung hingga Desember 2025, dengan monitoring rutin melalui sistem digital. Lebih dari sekadar penelitian, perjalanan ini menjadi ujian harapan: bagaimana transmigrasi bisa kembali relevan, adil, dan berkelanjutan.
“Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?” pungkas Rektor ITB, menutup pidatonya.