MEDIACAHAYU – Bandung bukan hanya kota dengan denyut kreatif yang menggoda lewat seni visual dan musik populer.
Di balik gemuruh panggung indie dan jazz kafe, lahir satu inisiatif yang diam-diam meretas batas: Bandung Philharmonic, sebuah kelompok simfoni orkestra profesional yang dibentuk dengan idealisme tinggi dan cita-cita besar.
“Bandung perlu memiliki orkestra profesional seperti New York, Los Angeles, atau Singapura,” kata Airin Efferin, salah satu pendiri Bandung Philharmonic sekaligus akademisi musik klasik. Senin malam (30/7/2025)
Apa yang ia nyatakan bukan mimpi kosong. Sejak didirikan, kelompok ini membangun tradisi musikal yang nyaris hilang dari radar perhatian publik: musik orkestra yang serius, terstruktur, dan kolaboratif—bukan sekadar pertunjukan elitis, tapi juga ruang pembelajaran bagi anak muda.
Airin menyoroti realitas bahwa banyak anak muda yang mengambil les biola, piano, atau cello, namun belum pernah merasakan bermain bersama dalam sebuah orkestra yang utuh.
“Main orkestra itu nggak segampang datang, duduk sebelahan, terus main,” ujarnya. “Ini kesempatan langka buat anak muda untuk benar-benar merasakan atmosfer berorkestra.”
“Now and Forever”: Lebih dari Sekadar Konser
Puncak dari proses panjang itu diwujudkan dalam pertunjukan musik bertajuk “Now and Forever”, yang digelar pada 30 Juni 2025 di Auditorium PPAG Unpar, Bandung.
Pertunjukan pembuka menghadirkan kolaborasi virtuoso antara violinist Yohanes Siem dan pianis Shu Xiang Yang, yang memainkan repertoar dari era romantik hingga kontemporer.
Repertoar tersebut tidak hanya menggugah emosi, tetapi juga mengedepankan sensitivitas teknik dari tiap instrumen yang dimainkan.
Namun, konser ini lebih dari sekadar sajian pertunjukan satu arah. Bandung Philharmonic menjadikannya sebuah rangkaian ekosistem pendidikan musik klasik, dengan mengundang para musisi dan guru dari kawasan Asia Tenggara untuk melatih para peserta muda dalam hal teknik orkestra dan dinamika bermain bersama.
“Ini bukan panggung selebrasi elite, tapi panggung pendidikan musikal,” tegas Airin.
Orkestra Sebagai Medium Pembentukan Karakter Kolektif
Di tengah era digital dan budaya instan, kemampuan bermain dalam format orkestra menjadi simbol resistensi terhadap ego individu.
Berbeda dengan tampil solo, bermain dalam orkestra adalah pelajaran tentang mendengar, mengukur, menahan diri, dan menyatu. Orkestra mengajarkan bahwa harmoni hanya bisa dicapai bila semua instrumen punya tempat dan waktu.
Bandung Philharmonic mencoba memulihkan nilai itu melalui residensi musik selama seminggu penuh. Anak-anak muda akan berlatih intensif di bawah bimbingan para maestro, dan hasilnya akan dipertontonkan dalam gala konser pada 6 Juli 2025.
Sehari sebelumnya, pada 5 Juli 2025, para pengajar dari luar negeri akan lebih dulu tampil, memberi gambaran akan standar dan ideal musikal yang ingin ditanamkan.
Di sinilah perbedaan utama Bandung Philharmonic dengan sekadar pelatihan musik biasa, mereka tidak hanya membentuk pemain, tapi juga membentuk kesadaran kolektif bermusik yang nyaris terlupakan.
Sebuah Gerakan Kultural
Lebih dari sekadar konser, “Now and Forever” adalah upaya strategis untuk menanamkan kembali benih-benih apresiasi terhadap musik klasik di kalangan publik Indonesia.
Musik ini mungkin tak selalu tampil di tengah sorotan budaya populer, namun lewat tangan dingin Bandung Philharmonic, ia hidup dan bergerak meski pelan tapi pasti menyusup ke ruang-ruang edukatif dan estetika anak muda.
Jika orkestra adalah cermin dari peradaban, maka Bandung Philharmonic sedang menyiapkan cermin yang layak bagi wajah masa depan musik Indonesia. Dan itu dimulai dari satu keyakinan sederhana, bahwa Bandung bisa dan layak punya simfoni sendiri.***