MEDIACAHAYU – Ketika dunia otomotif ramai-ramai mengedepankan keunggulan teknologi, desain futuristik, dan efisiensi daya, konsumen Indonesia justru memilih kendaraan listrik karena alasan yang berbeda: demi bumi yang lebih sehat.
Temuan itu berasal dari laporan terkini Populix, perusahaan riset dan platform survei daring, dalam studi bertajuk “Electric Vehicles in Indonesia: Consumer Insights and Market Dynamics” yang dirilis pada Juli 2025.
Hasilnya cukup mencengangkan: 67 persen responden menyatakan alasan utama mereka membeli kendaraan listrik adalah karena tidak menghasilkan polusi udara.
Sebanyak 60 persen juga menyukai mobil listrik karena suaranya yang senyap, sementara 54 persen menilai kendaraan listrik lebih ramah lingkungan secara umum.
“Orang Indonesia mulai melek lingkungan. Kalau kita lihat, alasan mendasar mereka beli EV bukan sekadar soal teknologi, tapi karena kesadaran terhadap lingkungan,” ujar Susan Adi Putra, Associate Head of Research for Automotive Populix, dalam paparan media dikutip, Kamis (3/7/2025).
Teknologi Bukan Daya Tarik Utama
Ironisnya, fitur-fitur teknis yang selama ini menjadi senjata pemasaran utama produsen EV justru tidak masuk prioritas pembeli.
Jangkauan jarak tempuh dalam sekali pengisian daya hal krusial dalam pengalaman berkendara hanya disebut oleh 19 persen responden. Bahkan insentif kebijakan ganjil-genap yang tak berlaku bagi mobil listrik hanya menarik 8 persen pembeli.
Tren ini menunjukkan bahwa konsumen Indonesia tak serta-merta terpesona oleh kecanggihan atau kepraktisan. Mereka lebih tertarik pada nilai-nilai keberlanjutan, sekalipun mungkin belum sepenuhnya memahami dimensi teknis EV.
“Insentif dari pemerintah tetap berpengaruh. Tapi aspek lingkungan memegang peran paling penting,” ujar Susan, menegaskan bahwa kesadaran ekologis menjadi faktor penentu yang makin menonjol dalam perilaku belanja otomotif nasional.
Ironi Pasar: Saat Kesadaran Hijau Tak Didukung Infrastruktur
Meski kesadaran masyarakat akan kendaraan ramah lingkungan meningkat, Indonesia masih tertinggal dalam penyediaan infrastruktur pendukung kendaraan listrik.
Jumlah stasiun pengisian baterai publik masih terbatas dan belum tersebar merata, terutama di luar kota-kota besar. Hal ini berpotensi membuat motivasi ramah lingkungan terjebak pada dilema praktis di lapangan.
Di sisi lain, banyak perusahaan otomotif melihat pasar Indonesia sebagai ladang emas bagi ekspansi EV. Namun bila fokus konsumen lebih kepada nilai “hijau” ketimbang performa atau kemudahan penggunaan, maka strategi produsen harus ikut berubah: bukan lagi menjual spesifikasi, tetapi menjual harapan akan masa depan yang lebih bersih.
Seiring insentif pemerintah dan transformasi kebijakan energi, masyarakat Indonesia perlahan menjadikan kendaraan listrik bukan hanya simbol gaya hidup modern, tetapi juga pernyataan sikap ekologis — sebuah sinyal bahwa era konsumsi berbasis kesadaran telah tiba.***