MEDIACAHAYU – Pulau Buru di Maluku, salah satu pulau terbesar di Nusantara, menyimpan jejak panjang sejarah sekaligus kekayaan alam dan budaya yang belum sepenuhnya tersingkap.
Kini, organisasi pencinta alam legendaris, Wanadri, bersama Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad), berusaha mengangkat kembali potensi itu lewat “Buru Expedition: Rediscover Buru”.
Ketua Tim Ekspedisi Pulau Buru, Yoppy Saragih, menjelaskan bahwa kegiatan ini berlangsung sejak April hingga Oktober 2025, mencakup penelitian flora, pendakian gunung, pemanjatan tebing, penanaman mangrove, hingga program kesehatan masyarakat.
“Kami ingin menunjukkan bahwa eksplorasi alam tidak berhenti pada petualangan, tetapi berkembang menjadi riset, konservasi, dan pemberdayaan masyarakat,” ujarnya Minggu (14/9/2025)
Ekspedisi ini telah menorehkan pencapaian penting, salah satunya pemanjatan Tebing Kaku Mahu setinggi 700 meter yang selama ini belum terjamah. Para peneliti juga menelusuri hutan Gunung Kapalatmada untuk mengidentifikasi flora yang tahan terhadap perubahan iklim, dengan target publikasi jurnal, buku populer, hingga rekomendasi kebijakan konservasi.
Tak hanya soal alam, ekspedisi ini juga menyinggung sisi sosial-budaya. Melalui pendataan, tim menemukan peluang pengembangan ekowisata berbasis tradisi lokal. Sementara itu, tim kayaker melakukan sirkumnavigasi pesisir Pulau Buru untuk mencatat potensi bahari yang masih jarang dikenal.
Koordinator/Ketua Program Pesisir Terpadu (ICDP, Integrated Coastal Development Program) di bawah Divisi Lingkungan Yayasan Wanadri, Achmad Jerry, menuturkan bahwa kegiatan di Pulau Buru ini merupakan kelanjutan dari ekspedisi Wanadri Dayung Nusantara (DJN), setelah seri Jelajah Flores pada 2023 dan Belitung pada 2024.
Menurut Jerry, kegiatan ini bukan hanya berfokus pada pengamatan dan konservasi, tetapi juga melibatkan masyarakat. Ia menekankan pentingnya penanaman mangrove dan terumbu karang di tengah ancaman perubahan iklim yang membuat pulau-pulau serta wilayah pesisir di Indonesia semakin rentan.
Ancaman abrasi yang disertai banjir rob berpotensi menyebabkan hilangnya daratan hingga tenggelamnya pulau-pulau di Indonesia.
Di sisi pesisir, 10.000 bibit mangrove ditanam bersama komunitas lokal, Eiger, dan West Java Trust Fund. Program ini penting bukan hanya untuk menahan abrasi, tetapi juga menyimpan potensi besar sebagai blue carbon yang mendukung mitigasi perubahan iklim.
Selain itu, masyarakat Buru mendapatkan kesempatan berharga lewat pelatihan selam bersertifikat agar mampu menanam dan merawat terumbu karang. Upaya ini diyakini akan membuka jalan bagi pariwisata bahari yang lebih berkelanjutan.
Dari sektor kesehatan, kerja sama dengan PERDAMI, Kodam Pattimura, dan Dinas Kesehatan Maluku menghadirkan layanan pemeriksaan medis, operasi katarak, kacamata baca gratis, hingga penyediaan air bersih.
Mimpi Yang Jadi Kenyataan
Dekan Fakultas Pertanian Unpad, Dr. Ir. Meddy Rachmadi, MP., menyebut ekspedisi ini sebagai mimpi lama yang akhirnya terwujud.
“Sejak 2010 kami bercita-cita membekali mahasiswa dengan pengalaman nyata di alam terbuka. Ilmu di bangku kuliah hanya pendukung, yang utama adalah pengalaman,” katanya.
Karena itu kami dorong mahasiswa semester 7 ikut ekspedisi, bukan sekadar mengejar SKS, tetapi juga menghasilkan data untuk skripsi.
“Pulau Buru tidak seperti Jakarta yang bisa pulang-pergi. Kalau berangkat, harus tuntas dari awal hingga akhir,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Muhammad Amir Solihin, Kaprodi Agroteknologi Unpad, menambahkan bahwa ekspedisi ini setara dengan 20 SKS kegiatan belajar.
Kegiatan tersebut, sekaligus memberi mahasiswa nilai tambah berupa pengayaan riset, interaksi sosial, hingga kontribusi nyata bagi masyarakat.
Dengan semangat itu, Buru Expedition tak hanya menghadirkan petualangan penuh tantangan, tetapi juga membuka babak baru riset ilmiah, konservasi, dan pengabdian.
Pulau Buru yang dulu lebih sering disebut dalam lembaran sejarah, kini dihidupkan kembali dengan narasi baru: pulau riset, konservasi, dan masa depan keberlanjutan Nusantara.