MEDIACAHAYU — Di sebuah ruang putih yang tenang di kawasan Dago Atas, Bandung, lembar-lembar kertas dengan semburat warna dan kilau perak tergantung tanpa bingkai. Tak ada cat minyak atau akrilik. Tak juga kuas. Yang ada hanya cahaya, air, dan waktu.
Iswanto Soerjanto memanggilnya lukisan. Tapi yang ia lakukan bukan sekadar melukis. Ia meresapi, mengendapkan, dan menyusun ulang semesta ke dalam karya bertajuk Purnama (dan) Tilem, pameran tunggal ketiganya yang digelar di Orbital Dago Gallery sejak awal Juli 2025.
Pameran ini bukan sekadar ruang seni, tetapi ruang kontemplasi. Karya-karya Iswanto hadir sebagai jendela untuk menengok ulang keterhubungan manusia dengan ritme alam dan spiritualitasnya.
“Saya tidak sekadar memindahkan gambar. Saya ingin menangkap irama kosmis kehidupan, dari terang hingga gelap, dari penuh hingga kosong,” ujarnya saat pembukaan pameran, Kamis (3/7) sore.
Melampaui Lensa, Menyentuh Batin
Iswanto memulai perjalanannya bukan dari kuas atau cat, tetapi dari laboratorium fotografi. Alih-alih mengikuti arus perkembangan teknologi digital, ia memilih jalan sunyi: menciptakan gambar tanpa kamera.
Dengan teknik cyanotype, gum bichromate, dan chemigram—praktik kuno fotografi abad ke-19—ia bermain dengan bahan kimia, cahaya, dan intuisi.
Setiap karyanya diciptakan dari proses panjang: kertas sensitif cahaya direndam, diguyur, dijemur, lalu dibiarkan bicara sendiri. Tak ada garis pasti, tak ada warna tegas. Hanya bentuk-bentuk yang muncul seperti ingatan samar, seperti meditasi yang mencair.
Kurator Rifky ‘Goro’ Effendy menyebut karya Iswanto sebagai “ritual visual” yang nyaris menyerupai doa. Prosesnya mengingatkan pada wirid: pengulangan, kesunyian, dan kejernihan niat.
“Karya-karya ini terasa seperti lelehan waktu. Ada cipratan, gumpalan, tapi juga keheningan yang menyentuh,” tulis Rifky dalam catatannya.
Purnama dan Tilem: Antara Terang dan Kosong
Dalam tradisi Bali, Purnama (bulan penuh) dan Tilem (bulan mati) bukan sekadar fenomena astronomi. Ia adalah peristiwa spiritual. Purnama dirayakan dengan semarak: doa, sesaji, dan tarian. Tilem, sebaliknya, hadir dalam sunyi: perenungan, pembersihan diri, dan hening batin.
Iswanto mengangkat dua kutub itu dalam karya-karya yang tidak menampakkan bulan secara harfiah. Tapi lewat tekstur dan warna, ia menangkap energinya. Semburat kecil yang memancar melambangkan Purnama. Kilap perak dan percikan gelap menjadi simbol Tilem.
Setiap bidang kecil dalam lukisan-lukisan ini adalah serpihan dari satu kosmos yang lebih besar. Seperti potongan hidup: saling bertaut, saling menunggu.
Ruang Diam di Tengah Riuh Dunia
Di masa ketika seni sering kali hadir sebagai sensasi visual, karya Iswanto seperti nafas panjang. Ia tidak berteriak. Ia berbisik. Ia tidak menuntut pengakuan, hanya perhatian.
Kehadirannya kembali ke Bandung, setelah lama berkarya di Jakarta dan Denpasar, menandai kesinambungan sebuah perjalanan spiritual dalam dunia seni rupa Indonesia—yang jarang disentuh, namun penting: kesabaran.
Di sela pameran, banyak pengunjung terdiam lama di depan lembar-lembar karya itu. Mereka bukan sedang mengamati. Mereka sedang merenung.
Dan mungkin itulah maksud sejati dari pameran ini: menghadirkan ruang kosong di tengah dunia yang bising. Mengingatkan bahwa dalam gelap ada terang, dalam diam ada gerak, dan dalam purnama selalu ada tilem.***