MEDIACAHAYU – Sebuah pertemuan sederhana di ruang rapat DPRD Kabupaten Cirebon, memunculkan gema panjang dari dunia pendidikan keagamaan.
Di hadapan para wakil rakyat, para guru madrasah swasta menumpahkan keresahan lama: ketimpangan yang tak kunjung terselesaikan.
Ketua Perkumpulan Guru Madrasah (PGM) Indonesia Kabupaten Cirebon, Idris, tampil dengan suara lantang namun bergetar. Ia membawa suara sekitar 6.000 guru madrasah swasta yang hingga kini masih berjalan di lorong panjang ketidakadilan.
Dari total 7.900 guru madrasah di Cirebon, hanya sebagian kecil yang menikmati regulasi dan kesejahteraan setara dengan guru negeri.
“Kami hanya ingin keadilan. Banyak regulasi belum berpihak kepada kami. Guru madrasah negeri mudah diangkat ASN, sedangkan madrasah swasta nyaris tidak terakomodir,” kata Idris dengan nada getir dikutip Jumat (10/10)
Madrasah swasta, yang menjadi benteng pendidikan agama dan karakter di tengah masyarakat, kini seperti berdiri di pinggir kebijakan. Lebih dari 90 persen madrasah di Cirebon dikelola oleh yayasan swasta, namun perhatian dan dukungan anggaran masih minim.
PGM menuntut agar pemerintah daerah tidak sekadar memberi ruang dalam forum audiensi, tetapi juga memasukkan kebutuhan mereka dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2026.
Ketua DPRD Kabupaten Cirebon, Dr. Sophi Zulfia SH MH, mencoba meredam gelombang tuntutan itu dengan janji politik: DPRD akan memperjuangkan aspirasi tersebut dalam pembahasan anggaran tahun depan.
“Kami memahami kesenjangan kesejahteraan guru madrasah. Aspirasi ini akan kami bahas bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah. Mudah-mudahan bisa diakomodasi di RAPBD 2026,” ujar Sophi.
Namun di balik janji itu, publik tahu, kondisi fiskal daerah sedang ketat. Pemerintah tengah melakukan efisiensi sebesar Rp85 miliar, sebagian besar untuk perbaikan infrastruktur dan layanan kesehatan.
Di tengah prioritas pembangunan fisik itu, kesejahteraan guru madrasah masih rawan tersingkir sebagai “agenda sosial sekunder”.
Meski begitu, Sophi menegaskan DPRD tak akan lepas tangan. “Kami tidak akan menutup mata. Guru madrasah adalah bagian penting dari masa depan anak bangsa. Kami akan mencari jalan agar mereka tetap mendapat perhatian,” katanya.
Audiensi itu mungkin berakhir di meja rapat, namun pesan moralnya menggema keluar: perjuangan guru madrasah swasta belum usai.
Di antara suara-suara lantang dan janji yang melambung, mereka tetap bertahan di ruang kelas sederhana—mendidik dengan semangat yang jauh lebih besar dari gaji yang mereka terima.***