MEDIACAHYU – Sayup sampai suara tertawa riang sekumpulan bocah dari sebuah rumah papan bambu yang mulai menua. Tenggelam
di antara sunyi dan cahaya dari dusun yang tak tercantum dalam peta digital.
Di langit-langit rumah itu, bola lampu 5 watt yang baru dua hari lalu dipasang bergelantung malu-malu. Sebelumnya, malam di rumah itu adalah gelap yang tebal. Sekarang, malam berubah, menjadi terang, menjadi harapan.
Namanya Ida, perempuan 43 tahun, tinggal di Kecamatan Leuwidamar, perbatasan antara Kabupaten Lebak dan Sumedang. Sejak menikah, ia tak pernah mengenal saklar. Malam-malamnya bergantung pada lampu minyak, lilin, dan doa agar angin tak meniup padam cahaya.
Bulan ini, sesuatu berubah. Sebuah mobil PLN masuk ke desanya. Kabel-kabel digelar, tiang berdiri di ladang jagung, dan petugas berseragam biru bekerja hingga senja. Listrik akhirnya menyambangi rumah Ida, gratis, katanya, dari negara. Ida tak tahu apa itu program Jabar Caang, tapi ia tahu betul arti saklar yang bisa menyalakan lampu dan kipas angin untuk cucunya yang masih balita.
Program Jabar Caang bukan dongeng listrik gratis yang berhenti di rapat-rapat pemerintah. Ia nyata. Sejak 2018, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menggandeng PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi Jawa Barat untuk membawa cahaya ke tempat-tempat yang bahkan sinyal telepon pun enggan singgah.
Targetnya besar: 121.871 rumah di 1.425 desa—bukan hanya soal kabel, tapi soal martabat.
“Listrik bukan sekadar penerangan. Ia adalah hak dasar, seperti air, seperti udara,” ujar Tonny Bellamy, General Manager PLN UID Jawa Barat dalam keterangan resminya. Minggu (1/6/2025)
Baginya, tiap sambungan bukan sekadar pekerjaan teknis, tapi bagian dari keadilan energi. Tahun lalu, sambungan demi sambungan dirampungkan lewat dana yang tak biasa: donasi pegawai PLN sendiri. Nama programnya: Light Up The Dream.
Bambang Tirtoyuliono, Kepala Dinas ESDM Jawa Barat, menyebut tahun 2025 sebagai tahun akselerasi. Ia membawa kabar angka: 3.403 sambungan lewat APBD, 1.500 sambungan lagi lewat CSR, tersebar di 55 desa yang terpencil, jauh dari keramaian kota. “Kami ingin tahun 2026, tak ada lagi rumah di Jabar yang gelap,” ujarnya.
Ini bukan pekerjaan mudah. Tiang-tiang harus digotong menembus jalan berlumpur. Sambungan harus dirakit di tengah rintik hujan. Dan di balik angka, ada orang-orang yang menunggu: ibu yang ingin anaknya belajar di malam hari, tukang gorengan yang ingin menyalakan kulkas kecil, anak muda yang bermimpi membangun bisnis kecil di kampungnya.
Listrik mungkin tak mengubah dunia seketika. Tapi di rumah-rumah seperti milik Ida, cahaya dari satu bola lampu cukup untuk membuat malam tak lagi menakutkan. Cukup untuk menyalakan harapan.***