MEDIACAHAYU – Kabut tipis menyelimuti lereng Bromo, hawa dingin menggigit kulit, namun pada pertengahan Juli 2025 mendatang, suhu di sana dipastikan akan naik—bukan karena cuaca, tapi denting saxophone, gebukan drum, dan lengking suara penyanyi dari panggung Jazz Gunung Bromo.
Untuk kesekian kalinya, festival musik lintas genre yang lahir dari semangat eksperimentasi ini kembali mengudara, dengan memilih venue yang tak biasa: amphitheater terbuka di Jiwa Jawa Resort Bromo, Probolinggo, di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut.
“Jazz biasanya digelar di gedung, tapi kami ingin bawa keluar, lebih dekat ke alam, lebih bebas,” ujar Sigit Pramono, pendiri Jazz Gunung Indonesia, dalam konferensi pers dikutip, Jumat (4/7/2025)
Bagi Sigit, jazz tidak semata-mata milik ruang tertutup yang elit, melainkan juga milik publik, milik pejalan, pendaki, pencinta langit.
Panggung akan dibuka oleh musisi lintas generasi.
RAN dan Karimata menjadi penampil unggulan. Di sisi lain, Jamie Aditya, Sal Priadi, Natasha Elvira hingga musisi internasional seperti Rouge dari Prancis turut mengisi komposisi lineup. Kua Etnika dan Tohpati Ethnomission memastikan akar tradisi tetap menjejak kuat di pentas yang mengudara.
Festival ini bukan hanya soal musik, tapi juga soal makna. Di tengah suasana wisata massal yang kian membebani alam, Jazz Gunung mencoba meramu ekosistem hiburan yang lebih berkelanjutan dan memberi ruang pada kontemplasi budaya.
Sigit menyebut bahwa pemilihan Bromo bukan tanpa pertimbangan teknis. “Medan Bromo lebih kering dibandingkan Rinjani. Risiko cuaca lebih bisa dikalkulasi,” katanya, merujuk pada pengalaman mereka dalam menggelar acara serupa di lokasi-lokasi lain.
Tiket dijual mulai Rp300 ribu hingga Rp6 juta. Sebuah spektrum harga yang mencoba menjangkau semua kalangan, meski tetap menyisakan pertanyaan tentang seberapa “inklusif” perhelatan ini sebenarnya.
Yang menarik, nama Andy F. Noya tercantum sebagai advisor. Wartawan senior ini mengaku bergabung bukan karena jabatan, tetapi karena rasa cinta terhadap jazz itu sendiri. Baginya, musik ini seharusnya tidak lagi menjadi simbol eksklusivitas, melainkan jembatan pertemuan antara dunia-dunia yang berbeda.
Jazz Gunung Bromo 2025 ingin menjadi bukti bahwa seni bisa turun gunung, bahkan sambil naik ke puncak. Bahwa nada-nada lembut bisa menaklukkan dinginnya malam.
Dan bahwa panggung bukan milik langit-langit gedung semata, melainkan bisa berdiri tegak di kaki langit, ditemani kabut dan kawanan awan.***