MEDIACAHAYU – Di lintasan pendek antara Krueng Geukueh dan Kutablang, deru mesin kereta api terdengar saban hari.
Bukan kereta cepat, bukan pula rangkaian panjang dengan kelas mewah. Inilah KA Cut Meutia, kereta perintis yang sejak 2016 menjadi denyut transportasi masyarakat di ujung barat Nusantara.
Tarifnya Rp2.000, lebih murah dari segelas kopi di warung. Namun nilai sosialnya jauh lebih tinggi. Sejak Januari hingga Agustus 2025, kereta ini mengangkut 30.527 penumpang, dengan okupansi tertinggi pada Februari.
Delapan kali pulang-pergi setiap hari, KA Cut Meutia setia membawa warga melintasi 21,4 km jalur yang dulu hanya 11,5 km.
Vice President Public Relations KAI, Anne Purba, menyebut kereta ini bukan sekadar transportasi.
“KA Cut Meutia hadir sebagai pintu menuju pengalaman wisata khas Aceh. Dari balik jendela, penumpang bisa menikmati panorama pantai seperti Pantai Mulia, Pantai Curah, hingga Pantai Krueng Mane,” ujarnya dikutip Selasa (23/9/2025).
Kereta ini membawa nama besar seorang pahlawan perempuan Aceh, Cut Nyak Meutia, yang rumahnya kini menjadi museum perjuangan. Nama itu seolah menegaskan, setiap perjalanan KA Cut Meutia bukan hanya menghubungkan stasiun, tapi juga menghubungkan generasi pada sejarah perlawanan dan keteguhan rakyat Aceh.
Di usia 80 tahun KAI, hadirnya kereta perintis ini menegaskan bahwa rel bukan hanya milik kota-kota besar.
Rel juga menyimpan kisah di pelosok, di tepian pantai, di desa-desa yang mungkin tak tercatat dalam peta pembangunan nasional. KA Cut Meutia adalah kisah kecil yang meneguhkan: melayani rakyat bisa dimulai dari perjalanan singkat.