MEDIACAHAYU – Kasus dugaan korupsi kuota haji di Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2023–2024 terus menyingkap pola yang rumit. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan praktik jual beli kuota tidak berlangsung secara terang-terangan, melainkan melalui jalur berlapis antara pejabat, asosiasi, hingga agen perjalanan.
“Tidak secara langsung,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dikutip Mediacahayu dari Antara, Kamis (11/9/2025)
Skema yang dipaparkan Asep menunjukkan bagaimana tambahan 20.000 kuota haji dari Arab Saudi dibagi dua: 10.000 untuk reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Kuota khusus itu kemudian didistribusikan pejabat Kemenag kepada asosiasi biro perjalanan. Dari asosiasi, kuota jatuh ke tangan agen-agen anggota.
Pembagiannya, kata Asep, bukan berdasarkan siapa yang mampu membayar lebih. “Artinya, si A dapat berapa, terserah yang punya uang dapat berapa, tidak. Akan tetapi, ini sudah dipatok,” katanya.
Namun, distribusi itu tetap berujung pada transaksi. Setiap agen perjalanan haji membayarkan sejumlah uang lewat asosiasinya, yang kemudian disetor ke pejabat Kemenag. Nilai komitmen per kuota tidak kecil, berkisar 2.600 hingga 7.000 dolar AS.
KPK sudah mengumumkan penyidikan kasus ini sejak 9 Agustus 2025, setelah meminta keterangan mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Penghitungan awal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut kerugian negara menembus Rp1 triliun lebih. Tiga orang dicegah ke luar negeri, termasuk Yaqut.
Kasus ini bukan hanya domain KPK. DPR lewat Pansus Angket Haji juga menemukan kejanggalan serius. Fokus mereka pada pembagian kuota tambahan 50 banding 50, yang bertolak belakang dengan UU Nomor 8 Tahun 2019. Dalam aturan itu, porsi haji khusus hanya 8 persen, sedangkan reguler 92 persen.
Fakta-fakta yang bergulir menguatkan dugaan adanya penyalahgunaan wewenang dalam tata kelola ibadah haji. Modusnya berlapis, dampaknya menggerus keuangan negara, dan akhirnya menodai kepercayaan publik pada pengelolaan ibadah yang seharusnya suci.