MEDIACAHAYU – Pemerintah Provinsi Jawa Barat resmi memberlakukan kebijakan jam malam bagi peserta didik sebagai upaya pembinaan karakter generasi muda. Namun, langkah ini masih menghadapi tantangan, terutama dari sisi efektivitas pengawasan dan keterlibatan masyarakat.
Melalui Surat Edaran Gubernur Jawa Barat No. 51/PA.03/Disdik, siswa diimbau untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah pada pukul 21.00–04.00 WIB. Kebijakan ini disosialisasikan secara serentak pada Minggu (1/6/2025) oleh Dinas Pendidikan Jabar di 27 kabupaten/kota.
Kepala Dinas Pendidikan Jabar Purwanto menyebut, kebijakan ini tidak sekadar pembatasan, tetapi langkah strategis untuk membentuk karakter Panca Waluya — sehat, baik, benar, cerdas, dan terampil.
“Titik-titik lokasi atau tempat-tempat keramaian yang didatangi adalah yang biasa ditempati oleh pelajar. Bahkan ada daerah yang bupatinya turun langsung,” ungkap Purwanto.
Namun, ia juga mengakui bahwa sistem pendukung yang memadai masih perlu dibangun. Tanpa dukungan orang tua, sekolah, dan lingkungan, penerapan jam malam rawan menjadi kebijakan simbolik.
Di lapangan, pengawasan dilakukan bersama tim gabungan—dari Satpol PP hingga camat dan kepala desa. Tapi, efektivitas patroli hanya dapat dirasakan bila disertai kesadaran kolektif.
Menariknya, kebijakan ini masih memberi ruang untuk fleksibilitas. Pelajar tetap boleh berada di luar rumah untuk keperluan pendidikan, kegiatan keagamaan, atau dalam situasi darurat. Ini menandakan bahwa pemerintah tidak menutup ruang aktivitas sosial anak, asalkan dalam pengawasan.
Meski demikian, masih muncul pertanyaan dari sejumlah kalangan: apakah pembatasan jam malam cukup efektif membina karakter pelajar atau justru akan menimbulkan konflik baru di tingkat keluarga dan masyarakat?
Purwanto menyatakan, kunci dari semua ini adalah koordinasi lintas lembaga dan keterlibatan orang tua. “Bupati dan Wali Kota bertanggung jawab di level lokal. Kami dari provinsi akan terus berkoordinasi dengan Kemenag untuk memastikan pengawasan berjalan terpadu,” ujarnya.
Kebijakan ini membuka ruang diskusi publik tentang peran negara dalam mendidik dan mengawasi anak-anaknya. Apakah cukup dengan aturan jam malam, atau diperlukan pendekatan yang lebih menyentuh akar permasalahan sosial remaja?***